Deskripsi
Buku ini mencoba menelusuri hubungan darah zuriah sultan-sultan Banten di Kesultanan Banten, Jawa Barat dengan zuriah seorang raja di Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan. Karena itu buku ini bercerita tentang tiga tokoh yang menjadi pemain utama tersebarnya zuriah mereka sampai ke Wajo. Untuk mencari benang merah keterkaitan darah antara zuriah para sultan Banten dengan zuriah raja wajo, maka penulis mencoba melihat dari aspek sejarah dan perjalanan hidup ketiga tokoh utama yang merupakan titik simpul tersambungnya alur genealogis zuriah mereka. Tokoh-tokoh tersebut adalah Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, seorang mubalig Islam yang datang dari India di sekitar abad ke-14 dan diakui sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW; Prabu Siliwangi, seorang raja di Kerajaan Pajajaran yang sangat masyhur dan beragama Hindu pada abad ke 15; dan La Pawellangi, raja ke-39 Kerajaan Wajo (saat ini Kabupaten Wajo), di mana zuriah ketiga tokoh tersebar luas.
Tentu saja ada tokoh-tokoh lain yang berperan sebagai mata rantai ketersambungan alur genealogis itu seperti Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan ke-6 Kesultanan Banten, Syekh Yusuf Al-Makassari dan La Temmassonge raja Bone ke-22. Penggalan-penggalan sejarah kehidupan tokoh tersebut disajikan untuk mempertegas alur benang merah hubungan zuriah mereka. Karena makam Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini ditemukan di Desa Tosora, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan, maka pembahasan isi buku dimulai dengan penelusuran tentang siapa makam itu di Bab I. Sedangkan Bab II mengulas tentang kerajaan Wajo, kapan berdirinya dan siapa raja-raja, sementara Bab III menyangkut budaya Wajo, antara lain menyajikan kondisi masyarakatnya seperti strata sosial, adat istiadat, agama dan kepercayaan. Kiprah Sayyid Jamaluddin sendiri diulas di Bab IV, yang menyajikan kiprahnya dalam menyebarkan Islam ke berbagai negeri setelah meninggalkan India tahun 1349 M. Dalam safari da’wahnya, Sayyid Jamaluddin menjelajahi Jazirah Melayu, Sumatra, Jawa dan Sulawesi Selatan. Dalam perjalanannya ke Jazirah Melayu, Sayyid Jamaluddin antara lain mendarat di Kerajaan Langkasuka, dan Champa untuk mengislamkan Raja Champa, Raja Che Bo Nga. Pada tahun 1392 Sayyid Jamaluddin menuju Samudra Pasai. Ia singgah di Aceh, Palembang dan Jawa. Ia juga berkunjung ke Majapahit sebelum menuju ke Tosora Sulawesi Selatan tahun 1396. Ia memposisikan Tosora sebagai pangkalan menyebarkan Islam di daerah sekitar secara diam-diam. Sayyid Jamaluddin meninggal di Tosora tahun 1453 M.
Di awal Bab ini, juga dibahas kontroversi silsilah Sayyid Jamaluddin. Di sajikan dua jalur silsilah yang saling bertentangan. Satu silsilah yang jalur sanadnya sama dengan Klan Ba Alawi yang tersambung ke Rasulullah dan satu jalur lagi tidak sejalur dengan silsilah Ba Alawi, namaun jalur tersebut tersambung juga ke Rasulullah. Sementara itu, di awal Bab ini juga disajikan kontroversi tentang penelitian pustaka yang dilakukan K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantani, yang menunjukkan silsilah keturunan Ba Alawi atau para Habaib tidak tersambung ke Rasulullah. Tentang tokoh Prabu Siliwangi, raja Pajajaran ini dikupas di dalam Bab V. Anak Prabu Siliwangi yang bernama Nyai Mas Rara Santang menikah dengan Abdullah Umdatuddin, cucu Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Di sinilah terjadinya ketersambungan jalur genealogis keturunan antara Sayyid Jamaluddin dan Prabu Siliwangi. Abdullah Umdatuddin adalah penerus tahta ayahnya Ali Nurul Alam bin Sayyid Jamaluddin di Champa.
Awalnya, cucu Sayyid Jamaluddin yang lain yang bernama Syekh Hasanuddin alias Syekh Quro menyebarkan Islam di Karawang dan Cirebon, dan membuka pengajian. Salah satu muridnya yang cantik dan memiliki suara merdu, bernama Nyai Subang Larang, memikat hati Prabu Siliwangi. Akhirnya mereka menikah, lahirlah Nyai Rara Santang yang kemudian menikah dengan Abdullah Umdatuddin. Perkawinan antara Nyai Rara Santang dengan Abdullah Umdatuddin melahirkan anak antara lain Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang kemudian menjadi raja di Cirebon. Syarif Hidayatullah dapat menaklukkan Banten sekitar tahun 1526 dan mendirikan Kesultanan Banten. Ia mendudukan putranya Pangeran Sabakingkin atau Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama. Pewarisan posisi sultan dalam Kesultanan Banten dilakukan secara turun temurun. Saat bertahtanya sultan ke-6, Sultan Ageng Tirtayasa-Abul Fath Abdul Fattah seorang ulama besar, ahli sufi, bernama Syekh Yusuf Al-Makassari dari Makassar datang ke Banten dan menjadi sahabat Sultan. Ia kemudian diangkat menjadi Mufti Kesultanan Banten, bahkan dijadikan menantu oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Syekh Yusuf inilah yang menjadi mata rantai alur genealogis antara sultan-sultan Banten dengan keturunannya di Sulawesi Selatan. Karena itu, Syekh Yusuf dibahas di dalam Bab VI di mana ia berjuang membantu mertuanya Sultan Ageng Tirtayasa berperang melawan anaknya Sultan Abu Nashar Abdul Qahar yang dikenal sebagai Sultan Haji. Belanda membantu Sultan Haji dalam perang saudara itu. Sekh Yusuf akhirnya tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke Ceylon, tapi ada anaknya yang masih muda tidak ikut di buang. Anak Syekh Yusuf ini yang bernama (Tubagus) Maulana Muhammad Jalaluddin kemudian punya putri yang bernama We Mommo Siti Aisyah. We Mommo Siti Aisyah menikah dengan La Temmassonge, Raja Bone ke-22, yang kemudian dianugrahi seorang canggah (anak dari cicit) bernama La Pawellangi, Raja Wajo ke-39. Dari La Pawellangi Raja Wajo inilah zuriah ketiga tokoh di atas menyebar di Kerajaan Wajo. Untuk anak cucu La Pawellangi dihimpun secara khusus di Bab VII.
A. Aco Oddang –
Alhamdulillah menambah wawasan/pengetahuan dari ketiga tokoh sebagai pemeran utama tersebarnya zuriah mereka sampai ke tanah wajo
Andi Mallarangeng –
sangat membantu bertambahnya pengetahuan tentang penyebaran Zuriah