SAYYID JAMALUDDIN PRABU SILIWANGI LA PAWELLANGI Sebuah Penulusuran Jejak Genealogis Zuriah Tiga Tokoh Sejarah

JUDUL: SAYYID JAMALUDDIN PRABU SILIWANGI LA PAWELLANGI Sebuah Penulusuran Jejak Genealogis Zuriah Tiga Tokoh Sejarah

Penulis:
Andi Abdussalam Petta Maula

Category

Deskripsi

Buku ini mencoba menelusuri jejak keturunan Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini dan keturunan Prabu Siliwangi yang dengan terjadinya asimilasi melahirkan perpaduan zuriah secara turun-temurun, antara lain melalui Sultan-Sultan Banten, sampai ke Sulawesi Selatan, khususnya Kerajaan Wajo.
Untuk mengetahui benang merah ketersambungan zuriah kedua tokoh tersebut ke zuriah raja Wajo, penulis menyajikan penggalan-penggalan sejarah seputar wilayah-wilayah yang dilalui alur genealogis tersebut.
Penggalan-penggalan sejarah tersebut disajikan hanya secara singkat untuk menunjukkan fakta. Akan tetapi, untuk Kerajaan Wajo, pembahasan sedikit lebih luas dibanding pembahasan daerah jalur genealogis yang lain, karena pada intinya, yang ingin diekspose adalah budaya wajo dan keberadaan pertalian zuriah kedua tokoh itu di Kerajaan Wajo.
Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, dikenal sebagai keturunan Nabi Muhammad |SAW dan leluhur para Wali Songo yang juga diyakini sebagai pembawa ajaran Islam pertama di Indonesia, terutama di Jawa. Namun, di sini bukan berarti Sayyid Jamaluddinlah yang pertama memperkenalkan Islam di Nusantara, karena tentang kapan masuknya Islam di Indonesia, memang banyak terori, termasuk teori Gujarat alias pedagang India (dari keturunan Arab) di Abad ke13 Masehi.
Teori lain adalah teori Arab di mana Islam dibawa pedagang Arab ke Indonesia pada Abad ke-7,teori Cina yang pindah ke Palembang pada Abad ke-9, teori Persia Abad ke-9 serta teori Maritim Abad ke-7 di mana Islam masuk ke Indonesia melalui orang-orang Nusantara yang ulung dalam pelayaran dan perdagangan.
Penulis, karena membahas Sayyid Jamaluddin sebagai buyut para Wali Songo, menyajikan pembahasan yang lebih condong kepada teori Gujarat/India karena sesungguhnya Sayyid Jamaluddin dari India, walaupun jalur leluhurnya memang dari Tanah Arab.
Persoalan teori-teori yang berbeda sepertinya memang sudah jamak ditemukan dalam melacak sumber sejarah. Dalam literatur, pembaca sering menemukan pendapat yang berbeda tentang sesuatu antara satu sumber dengan sumber lainnya, apalagi bila pembaca menjelajahi literatur secara online di Dunia Maya.
Oleh karena itu, penulis menyatakan secara ‘disclaimer’ manakala dalam buku ini terdapat kelemahan atau bahkan kesalahan dalam penyajian yang penulis anggap fakta ternyata keliru.
Memang penulis menyajikan Bab terakhir khusus untuk data-data tentang keturunan La Pawellangi yang dilengkapi dengan pringkat generasinya. Peringkat generasi ditandai dengan menambahkan huruf “G” di depan atau di belakang nama, misalnya seorang generasi ke-6dari Raja La Pawellangi bernama “Yakub”, maka ditulis “G-6 Yakub” (atau “Yakub G-6)”.
G-1 adalah peringkat generas pertama, anak La Pawellangi Arung Matoa Wajo ke-39. G-2 adalah cucu dan G-3 cicit dan seterusnya.
Demikian juga untuk pasangan suami-istri, ditulis nama suami lebih dahulu, dipisah dengan tanda tambah (+) baru nama istri atau sebaliknya. Misalnya “Abdullah + Subaidah”atau “Subaidah + Abdullah”. Yang diletakkan di depan tergantung yang mana yang sedang dibahas.
BAB VII buku ini khusus menyajikan data tentang keturunan La Pawellangi Pajung PeroE Arung Matoa Wajo ke-39. Walau memang tidak mencakup semua zuriyah raja Wajo tersebut karena sulitnya melacak keberadaan mereka, namun yang sudah terdata cukup memberikan gambaran dan pegangan bagi mereka yang ingin mengenal saudara-saudara mereka lebih jauh.
Sebuah keluarga bagaikan sebuah pohon yang punya batang, cabang, dahan, tangkai dst. Maka penyajian data sebuah keluarga dimulai dari anak pertama turun secara berurut dari cucu sampai ke cicit dst., baru ke anak kedua, ketiga dst dengan penanda generasi ‘G’.
Selain itu, dalam buku ini kadang-kadang ada huruf kapital “E” dibelakang kata. Ini sesungguhnya sama dengan kata sandang, atau definit artile ‘the’ dalam Bahasa Inggris yang mendampingi kata benda untuk memberi arti‘yang’ atau ‘itu’. Misalnya dalam Bahasa Inggis ‘the book’, dalam Bahasa Indonesia ‘buku itu’, dalam istilah Bugis ‘bukuE’, dst.
Perlu dicatat, anak-anak dan cucu-cucu La Pawellangi khususnya generasi awal (setidaknya sampai generasi ke-2/G-2) tidak memakai gelar “Andi”, “Besse” atau “Baso”. Mereka hanya bergelar ‘La’ bagi pria, ‘I’ atau ‘We’ bagi wanita di depan nama mereka.
Namun ada usul agar di dalam buku ini semua anak dan cucu La Pawellangi yaitu generasi 1 dan 2 (G-1 dan G-2)diseragamkan dengan memakai gelar ‘Andi’ di depan nama mereka. Memang pemakaian gelar ‘Andi’ baru muncul sekitar 1930an, menyusul adanya kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang masih menguasai Indonesia pada waktu itu.
Akan tetapi menurut hemat penulis, pemakaian gelar ‘La’, ‘I’, ‘We’ menunjukkan keaslian gelaran nama bagi orang yang berdarah biru pada masanya. Karena itu penulis mempertahakan penulisan gelar ‘La’ untuk La Pawellangi Pajung PeroE dan ‘I’ untuk istri-istrinya.
Untuk anak-anak dan cucu langsungLa Pawellangi, gelar ‘La’ atau ‘I’ tetap lebih pantas tapi tidak menutup kemungkainan sesekali menuliskan gelar Andi, Petta, dll. sebagai variasi.
Untuk mengakomodasi permintaan agar pemakaian gelar ‘Andi’ diseragamkan, penulis mempertimbangkannya untuk semua cucu-cucu generasi 2 La Pawellangi yang berjumlah 16 orang, sementara keturunan di bawah generasi generasi 2, buku ini menulis namanya berdasarkan catatan-catatan atau silsilah atau masukan dari keluarga mereka masing-masing.
Karenanya, penulis mohon maaf seandainya ada yang tidak setuju pemerataan pemakaian gelar Andi pada cucu-cucu La Pawellangi. Memang di sana-sini sering muncul penyebutan nama tanpa disertai gelar Andi, tapi dengan penyebutan lain karena memang keturunan La Pawellangi bervariasi dalam penyebutan dan penulisan nama di lontara atau silsilah. La Pawelai misalnya, ada yang menyebutkan Andi Pawelai atau Arung Pawelai, bahkan ada yang menulis di silsilah dengan penggalan nama saja seperti La Wela, namun semua itu merujuk ke La Pawelai Arung Daeng Riboko.
Sementara itu ada gelar ‘Baso’ atau ‘Besse’ diberikan kepada orang yang sebetulnya tidak berhak atas gelaran itu namun karena orang bersangkutan menikahi seorang yang berdarah biru, maka ia boleh diberi gelaran itu sebagai gelar penghormatan, namun itu tidak melekat. Akan tetapi gelar Andi tidak bisa diberikan sebagai gelar padduppa. Gelaran semacam ini disebut gelar ‘padduppa’ atau hanya sebutan. Gelar ‘padduppa’ ini tidak boleh masuk dalam naskah yang bersifat dokumentasi, seperti stamboom dan buku.
Selain itu, besar kemungkinan di dalam buku ini seorang zuriah La Pawellangi yang memiliki hak untuk memakai gelar Andi namun tidak memakainya, atau sebaliknya yang menurut pengaturan adat tidak sepatutnya memakai gelar Andi, tapi di depan namanya diletakkan gelar Andi. Dalam hal ini, penulis tidak bisa mengontrol karena penulis hanya menuliskan nama-nama tersebut sebagian besar berdasarkan masukan dari keluarga mereka. Penulis tidak berhak mengubahnya, karena jujur penulis tidak mengetahui latar belakang keluarga mereka masing-masing. Hemat penulis, yang penting di sini adalah kekerabatan Zuriah La Pawellangi, tanpa medahulukan strata sosialnya.

Ulasan

Belum ada ulasan.

Jadilah yang pertama memberikan ulasan “SAYYID JAMALUDDIN PRABU SILIWANGI LA PAWELLANGI Sebuah Penulusuran Jejak Genealogis Zuriah Tiga Tokoh Sejarah”

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Layanan

CUSTOMER CARE

PT Mafy Media Literasi Indonesia